Selasa, 24 Januari 2012

Donna (Pt 2)


Tanpa ba bi bu, Donna segera angkat kaki pulang ke istana sambil memikirkan kata" si nenek untuk pergi ke tempat di gulungan peta. Tetapi karena melamun dia tidak melihat jalan, sehingga dia dan kudanya terperosok kedalam kubangan, saat dia mencoba untuk bangun ada tangan yang diulurkan kepadanya. Sambil jengkel Donna menyambut tangan tersebut, dia mendongak melihat siapa orang yg hendak membantunya itu? Donna terkesima saat itu juga.
Pria yang amat tampan, kulitnya kecoklatan dengan garis wajah yg keras namun sangat serasi dengan matanya yang dalam. Donna terperangah
"Mau sampai kapan kau duduk disana cantik?"
"Ah, i..iya akuu.. mmm... Sudahlah, lupakan" meraih tangan pemuda itu dan bangkit berdiri. "Terimakasih!" lanjut Donna, sambil tersenyum kikuk. Dia dapat merasakan wajahnya yang merah padam. Antara malu dan gugup. Baru sekali dia merasa segugup ini.
"Tak apa, kau terluka? Ahh, kau terluka rupanya" melihat lecet & sobek di sekujur tubuh dan pakaian Donna. "Ikut aku! Aku akan mengobatimu"
Tetapi tiba-tiba Donna sadar "Tunggu dulu!! Kau mau bawa aku kemana? Aku harus pulang sekarang juga. Karena Ayahku sedang  membutuhkanku!!" Ternyata Donna tak melupakan tugasnya dari si nenek di kebun buah untuk pergi ke tempat apalah sebutannya itu. Penyihir mungkin.
Si pemuda hanya diam menatap reaksi Donna. "Kau terluka dan harus diobati. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang ke rumahmu dimanapun itu"
Tangan Donna ditarik, lebih tepatnya, pemuda itu memapah Donna dengan hati-hati. Ke sebuah gubuk kecil ditepi jalan. Begitu sampai disana. Si Pemuda segera mengambil kotak dari sebuah lemari disudut ruangan. Suasana kikuk diantara mereka begitu terasa.
"Namaku Mark.. Kau?"
"Donna, ehm Putri Donna"
Mark berhenti, mengerjapkaan matanya menatap Donna "Kau pasti bercanda.. Yang mulia putri Donna! Kaukah itu yang mulia?" Mark bertelut dan mengecup tangan Donna.
"Seharusnya kau tau siapa aku dari tadi!! Beraninya kau membawaku ketempat kumuh ini!!" Donna tak mengerti kenapa ucapannya begitu kasar.
"Maafkan hamba yang mulia, tapi kau tidak ada pilihan lain selain ini. Atau kau tetap di jalanan sana bersama kudamu & terluka" jawab Mark
Donna tak bisa menjawab apa"lagi. Mark mulai membersihkan dan membalut luka-lukanya. Dengan seksama. Donna diam saja sambil memperhatikan, kadang mendesis menahan perih ketika Mark mengusap lukanya dengan handuk.

Mark telah selesai mengobati, "Kita kerumahmu.. Err, maksudku Istanamu sekarang yang mulia?" Mark membukakan pintu. Donna berjalan keluar.
"Biar, aku akan pulang sendiri, aku buru-buru"
Donna hendak menaiki kudanya yg diikat di tiang pintu gubuk. Mark menghentikannya.
"Aku sudah bilang kalau aku yg akan mengantarmu tuan putri. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu" Mark berkeras Menatap dalam mata Donna.
Mark naik ke atas kuda. Menarik Donna untuk naik ke atas kuda, dan duduk dibelakangnya.
"Kau siap??" Tanyanya. "Err, Iya!" Donna berpegangan ke pinggang Mark.
Mereka mulai melaju, dan akhirnya sampai di istana. Grand menyambut seperti biasa. Namun wajahnya agak heran melihat Mark.
Donna turun dari kudanya. "Yang mulia dari mana saja? Pergi dari pagi subuh dan baru kembali? dan...ehhemm.." Grand melirik ke arah Mark
"Ceritanya panjang Grand, bagaimana keadaan ayah? Aku harus bertemu ayah sekarang" Donna berbalik ke arah Mark yg baru turun juga dari kuda.
"Kau ikutlah dengan Grand, dia akan memberikan upah padamu. Katakan jumlahnya, biar Grand yg urus" ucapnya, melirik Grand. Grand mengangguk. Baru saja Donna hendak pergi,
“Tuan Putri, mungkin kau salah mengerti. Tapi aku menolongmu bukan untuk meminta uangmu”
"Terserah kau, tapi yang pasti aku tak mau punya hutang padamu" Jawab Donna yang agak terkejut dengan penolakan itu.
"Hamba pulang dulu yang mulia, senang bertemu denganmu"
"Terserah kau Mark! Terserah!! Aku tak perduli denganmu!!" Donna berteriak jengkel, namun Mark tak menoleh sedikitpun. Donna melengos ke arah Grand.
"Grand, panggil Cherry.. Suruh dia siapkan kereta untukku. Kami akan bepergian. Jangan tanya kemana. Lakukan saja apa kataku" perintahnya.
Walaupun agak bingung, namun Grand melaksanakan saja. Sedangkan Donna segera bergegas ke ruangan sang Raja. Menengok keadaan sang ayah.
Sang Raja nampak amat lemas, pucat, dan tak berdaya. Sungguh perih bagi Donna melihatnya. Apalagi mengingat bahwa dialah penyebabnya. Airmata pun tak terbendung lagi, dia menangis disamping ayahnya yang lemah. "Maafkan aku Ayahanda" ucapnya sambil terisak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar